Kamis, 22 Oktober 2009

" Tak Ada yang Abadi"

Sebuah lirik dari Peterpan sangat pas menggambarkan sepenggal kisah yang mewarnai keluarga kami hari ini. Lagi-lagi, kami ditinggal MATI. Seorang sepupu yang umurnya bahkan lebih tua dari ayahku, telah meninggalkan kami dalam keadaan sakit. Ya SAKIT gijal. Penyakit yang beberapa tahun belakangan sempat membuat sakit hebat ayahku (baca: abi). Penyakit yang memuncak saat Ramadhan kemarin dan memaksa kami mengambil tindakan operasi untuk si ABI.

Kami ditinggal mati oleh sosok keponakan untuk abi (sepupu bagi ku, red). Sosok yang begitu bersahaja dan apa adanya. Sosok yang sepanjang hidupnya tak pernah lepas ujian. Lepas dari ujian satu, pindah ke ujian lain, karena mungkin, begitulah cara NYA memuliakan beliau. Kini, tinggal 1 anak perempuan yang ditinggalkan. Anak perempuan yang hidupnya cukup pahit. Sedari kecil anak perempuan itu ditinggal pergi ibunya. Hanya diurus sang ayah yang tidak menikah lagi hingga MATI nya.

Tadi saat aku ta'ziah, ku lihat sosok anak perempuan itu begitu tegarnya, hanya sedikit tangis yang tersisa.

Ada guratan sedih yang terpendam, seolah bertanya "siapa nanti yg akan menjagaku?"

"NENEK? beliau tengah meninggal 8 bulan lalu..."

" Kakak? dia juga telah pergi setahun lalu..."

" Ibu? beliau yang meninggalkanku saat masih bayi. Lalu tiba-tiba muncul ketika ku besar tanpa rasa dosa sedikitpun? akankah sosok itu setulus hati menyayangiku? "

Kira-kira seperti itulah daftar pertanyaan yang bergejolak di hatinya. Meski ini hanya analisa pribadi ku sebagai anak perempuan.

Aaah...makin merasa berdosa rasanya. Merasa diri ini begitu egois sebagai anak perempuan ayah. Merasa begitu durhaka menolak permintaan ayah yang jarang sekali terlontar.

Apa salahnya menuruti permintaan ayah untuk bekerja 1-2 tahun? Toh ayah tak pernah meminta apapun sebelumnya. Lalu mengapa aku mengeluh saat sekarang harus menapaki episode sebagai freelancer di sebuah perusahaan?

Mengapa kau terus saja mengeluh saat ditempati pada posisi “telemarketer” yang buat mu kurang keren?

Mengapa kau tak menangkap ketulusan ayah saat beliau yang baru 1 bulan selesai operasi memboncengmu ke sudirman?

Lalu, mengapa kau tak bahagia saat beliau tidak lagi pusing menjawab pertanyaan dari keluarganya saat ditanya “Ficca kerja dimana?”

Kenapa kau terus merasa terhina saat bos mu menyuruh kau mengangkat barang berat, mensteples ribuan flyer, menelepon client dan memfax surat?

Sungguh terlalu sombong dirimu, merasa bahwa ayah tak berhak memaksakan apapun terhadapmu. Sungguh terlalu sombong dirimu, merasa dihinakan saat disuruh ini-itu oleh bos mu

Sungguh terlalu jahat dirimu, saat melakukan semua itu tanpa keikhlasan, padahal apapun yg kau lakukan demi orang tua mu akan berbuah syurga di hadapan NYA

Mana birrul walidain yang kau kumandangkan itu Ficca???

Mana kasih sayang tulus yang kau katakan itu? Jika hanya demi membuat ayah tersenyum saja kau tidak rela



Sungguh kau tidak ada apa-apanya dibanding perempuan itu! Percuma kau dianggap lebih paham agama, lebih cerdas darinya, kalau hanya untuk menegakkan egomu saja

PERCUMA

Karena ayahmu juga akan menjemput kematiannya. Entah kapan. Dan kau, hanya bisa tertunduk saja. Menyesal saat waktu itu tiba. Menyesal karena memenangkan ajakan sang ego. Menyesal atas keputusanmu ingin berbisnis saja. Tak ada guna kau tumpuk hartamu. Tak ada fungsi kau bagikan 2,5% itu, jika tersisa ketidakikhlasan ayah atas mu

Ficca, apa pernah ayah menuntut ganti rugi atas seluruh biaya hidup mu selama ini?

Apa pernah ayah menuntutmu untuk memilih sekolah ini dan kampus itu?

Apa pernah ayah memintamu jadi ini dan itu?

Tidak nak, ayah hanya ingin kau belajar. Belajar pada tempat bernama PEKERJAAN. Belajar menjadi “bawahan”. Belajar “dihinakan”, karena dengan begitu kau akan “dimuliakan”

Ingatlah nak, ayah hanya ingin kau B.E.L.A.J.A.R

Bukan agar ayah dihormati, bukan karena ayah membenci keinginanmu berdikari sendiri. Bukan pula untuk kepuasan “egoisme” pribadi.



PS: Terimakasih “anak perempuan” dari mu aku belajar, sebelum sesalku datang.



Seminggu yang lalu, Allah telah menyentilku...